Kumpulan Makalah

Minggu, 21 Agustus 2011

PROFESIONALISME GURU DALAM MENCEGAH MISKONSEPSI PEMBELAJARAN


BAB I
PENDAHULUAN

Guru memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Dipundaknya terpikul tanggung jawab utama keefektifan dan keberhasilan seluruh usaha kependidikan persekolahan.
Sementara itu, mengajar bukan tugas yang ringan bagi guru. Konsekuensi tanggung jawab guru juga berat. Di kelas, guru akan berhadapan dengan sekelompok anak didik dengan segala persamaan dan perbedaannya. Sikap dan perilaku anak didik bervariasi dengan indikator pendiam, suka bicara, aktif belajar, gemar menggambar, gemar menulis, malas dan sebagainya. Sebagai anak didik mereka memerlukan bimbingan dan pembinaan dari guru supaya menjadi anak yang cakap, aktif, kreatif dan mandiri serta bertanggung jawab atas perbuatannya.
Karena tugas guru yang berat itu, maka mereka yang berprofesi sebagai guru harus menguasai konsep pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak didik dan selalu aktif-kreatif menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan begitu tidak ada kesan mengajar asal-asalan. Mengerti atau tidak anak didik, yang penting gugur kewajiban di kelas.
Guru harus mempunyai profesionalitas yang memadai sehingga dapat menjawab kegamangan sebagian orang tua yang kadang-kadang merasa cemas ketika menyaksikan anak-anak mereka berangkat ke sekolah, karena masih ragu akan kemampuan guru anak mereka.










a. Konsep Pembelajaran dan pembentukan pola pikir anak didik
Di masa lalu pembelajaran dipandang sebagai proses transformasi atau pengisian otak dengan pengetahuan. Sejalan dengan pandangan tersebut, metode yang digunakan guru banyak berpusat pada metode ceramah, bagaimanapun sifat bahan ajar dan situasi yang dihadapinya.
Pertama kali perlu dibedakan antara pembelajaran yang dimaksudkan sebagai pembinaan akal sebagai penentu pola pikir anak didik dengan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai transformasi pengetahuan. Transformasi pengetahuan adalah memberikan atau memindahkan informasi tentang pengetahuan kepada anak didik. Dalam proses transformasi anak didik hanya bersifat pasif dimana dia hanya menerima informasi sebanyak dia mampu, yang diinformasikan atau dituangkan kepada khazanah keilmuannya. Dalam hal ini otak anak didik tak ubahnya seperti gudang yang menampung banyak ilmu pengetahuan.
Konsep Pembelajaran harus melampaui dari sekedar menjadikan otak anak didik sebagai wadah yang terus menerus hanya diisi oleh air informasi. Seorang guru harus membina sisi lain pada kemampuan akal anak didik yaitu kemampuan berpikir. Berpikir adalah proses memecahkan persoalan-persoalan  baru yang tidak pernah di mengerti dan dipelajari sebelummnya dari gurunya dan tidak ada dalam gudang pengetahuannya, atau umum disebut dengan problem solving. Karena itu berpikir harus dibedakan dari belajar dalam arti transormasi pengetahuan. Berpikir dapat menggiatkan akal untuk menyimpulkan kesimpulan-kesimpulan baru dari perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki yang lantas ditambahkan ke khazanak keilmuannya, sehingga keilmuannya dapat bertambah tanpa bergantung lagi pada pembelajaran seorang guru. Dengan kata lain, seorang guru tidak boleh hanya memperbesar daya serap anak didik tehadap segala informasi, melainkan juga harus – dan ini merupakan tujuan yang lebih tinggi – mempertajam daya pikirnya sehingga terbentuk pola pikir yang dinamis.
Bertolak dari hal tersebut, maka guru harus memahami bahwa siswa tidak lagi harus duduk manis dikelas, mendengarkan guru bercerita dan menyajikan informasi pengetahuan kemudian disuruh menghafal sepaket hafalan untuk dijawab kembali ketika gurunya menanyakannya. Guru harus memahami bahwa belajar tidak didefinisikan sebagai proses perubahan tingkah laku dan pola pikir anak didik yang dilakukan pendidik kepada anak didiknya. Tetapi, belajar harus didefinisikan sebagai interaksi yang saling menguntungkan anfara guru dan anak didik dalam membangun pengetahuan.[1]
Konsep pembelajaran yang lebih ditujukan untuk melandasi pengembangan kemampuan akal dan membentuk pola pikir anak didik, tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan merupakan pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual. Sedangkan Strategi pembelajaran yang berorientasi pada anak didik, maka yang aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya.

b.  Profesionalitas guru untuk menghindari miskonsepsi pembelajaran
Para guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui kondisi pelajar dan permasalahan belajar yang dihadapi oleh anak didiknya, karena hampir setiap hari berhadapan dengan mereka. Guru kreatif selalu mencari cara bagaimana agar proses belajar mengajar mencapai hasil sesuai tujuan serta berupaya menyesuaikan konsep pembelajaran sesuai dengan tuntutan pencapaian tujuan, dengan mempertimbangkan faktor situasi kondisi belajar siswa.[2]
Sebenarnya, tidak ada yang salah dalam semua konsep pembelajaran yang ditemukan oleh para pakar pendidikan. Tetapi biasanya yang terjadi adalah miskonsepsi atau kesalahan dalam memahami konsep itu sendiri sehingga mengakibatkan kesalahan dalam prakteknya. Akibatnya, pola pikir anak didikpun tidak terbentuk dengan baik. Banyak guru yang mempraktekkan konsep pembelajaran  sesuka dirinya sendiri padahal guru tersebut tidak mempunyai kreativitas yang memadai untuk memodifikasi konsep pembelajaran agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh anak didik.
Untuk dapat memahami konsep pembelajaran dengan baik dan dapat mempraktekkan konsep pembelajaran tersebut dengan baik pula, maka sangat diperlukan profesionalitas seorang guru. Akan tetapi, upaya mewujudkan kemampuan profesional, seringkali dihadapkan pada berbagai permasalahan yang dapat menghambat perwujudannya. Secara garis besar permasalahan yang dapat menjadi hambatan tersebut adalah :

1, Sikap Konservatif guru
Tak sedikit diantara para guru yang lebih senang melaksanakan tugas sebagaimana yang biasa dilakukan dari waktu ke waktu. Keadaan semacam ini menunjukkan kecenderungan tingkah laku guru yang lebih mengarah pada mempertahankan cara yang biasa dilakukan dalam melaksanakan tugas, atau ingin mempertahankan cara lama (konservatif), mengingat cara  yang dipandang baru pada umumnya menuntut berbagai perubahan dalam pola-pola kerjanya.
Tumbuhnya sikap konservatif di kalangan guru, diantaranya dikarenakan oleh adanya pandangan yang dimiliki guru yang bersangkutan tentang mengajar. Guru yang berpandangan bahwa mengajar berarti menyampaikan materi pembelajatan, cenderung untuk bersikap konservatif atau cenderung mempertahankan cara mengajar dengan hanya sekedar menyampaikan materi pembelajatan. Sebaliknya, guru yang berpandangan bahwa mengajar adalah upaya memberi kemudahan belajar, selalu mempertanyakan apakah tugas mengajar yang dilaksanakan sudah berupaya memberi kemudahan bagi siswa untuk belajar.

2, Lemahnya motivasi untuk meningkatkan kemampuan
Dorongan untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas profesional sebagai guru seharusnya muncul dari dalam diri sendiri dan hal ini lebih baik dari dorongan yang muncul dari luar. Dorongan semacam ini tidak bersifat sementara, dan menjadi prasyarat bagi tumbuhnya upaya meningkatkan kemampuan.

3. Ketidak pedulian terhadap berbagai perkembangan
Sikap konservatif mempunyai kaitan dengan sikap tidak peduli terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan dalam dunia pendidikan. Dewasa ini telah banyak dicapai berbagai perkembangan dalam dunia pendidikan yang bertujuan meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Informasi tentang hal itu  banyak diperoleh dari berbagai literature, buku-buku teks, majalah, jurnal dan pemberitaan berbagai media massa. Setiap perkembangan atau kemajuan yang dicapai merupakan alternativ bagi guru untuk berupaya meningkatkan mutu pembelajaran yang dilaksanakan.























Penutup

Dalam UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bab II pasal 3:11 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan di atas tentunya harus diciptakan suasana belajar yang kondusif yang didukung oleh konsep pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak didik serta tenaga pengajar yang profesional. Untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, maka tergantung pada kemampuan para tenaga pengajar. Guru sebagai pendidik dan pengajar harus bisa menjalankan tugasnya dengan baik serta tampil mengesankan dihadapan anak didiknya.
Seorang guru juga harus memahami bahwa belajar-mengajar bukan hanya sebagai proses tranformasi ilmu pengetahuan tetapi harus ditujuan untuk mengoptimalkan potensi anak didik terutama dalam pembentukan pola pikinya.
Selain itu, guru harus menguasai bidang-bidang pengetahuan tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip pendidikan dan keguruan, seperti Psikologi Pendidikan, Pengembangan Kurikulum, Metode Pembelajaran, Metodologi Pendidikan, Bimbingan dan Penyuluhan, Administrasi Pendidikan dan ilmu-ilmu lain yang membantu dalam proses belajar mengajar.











DAFTAR PUSTAKA

Drs. Lukmanul Hakiim, Perencanaan Pembelajaran, CV.Wacana Prima, Bandung 2007
Drs. H. Abu Ahmadi,Dra. Nu Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta 203
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002
Abrari Rusyan, Pendekatan dalam Proses  Belajar Mengajar, Remadja Kosdakarya, Bandung 1989
Muyasa, Menjadi Guru Profesional, PT Remadja Kosdakarya, Bandung 2007


[1] Abrari Rusyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar,Remadja Kosdakarya, Bandung:1989
[2] Drs. Syaiful Bahri Djamarah Psikologi Belajar Rineka Cipta, Jakarta, 2002

ALIRAN ILUMINASIONIS (ISYRAQI)


MAKALAH
 ALIRAN ILUMINASIONIS (ISYRAQI)

Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan
Materi : FILSAFAT ISLAM
Dosen Pengampu : Damanhuri, M.Ag.













Oleh :
KHATIBUL UMAM



Semester : VI-A Extention
Jurusan : Pendidikan Agama Islam

INSTITUT ILMU KEISLAMAN AN-NUQAYAH
( I N S T I K A )
GULUK-GULUK SUMENEP
KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمن والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه اجمعين أما بعد :

Al hamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT. Semata. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kehadirat Baginda Nabi Muhammad SAW. Dan sanak famili serta para sahabatnya yang arif, jujur dan bijaksana.
Makalah ini, dengan judul ALIRAN ILUMINASIONISME dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas materi perkuliahan FILSAFAT ISLAM yang diampu oleh Bapak Damanhuri, M.Ag.
Kami menyadari bahwa kami bukan ahlinya dalam menyusun makalah ini. Namun karena merupakan tugas perkuliahan, maka dengan bagaimanapun dan sekuat tenaga, kami mencoba memenuhi tugas di atas sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada pada kami.
Tidak lupa kepada Dosen pengampu Bapak Damanhuri,M.Ag. Kami menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya didalam membimbing kami dalam materi Filsafat Islam terutama di dalam penyusunan makalah ini.
Kemudian degan kerendahan dan segala kekurangan yang menyelimuti kami, maka apabila menjumpai kejanggalan atau kesalahan, sudilah kiranya memberikan teguran ataupun kritik konstruktif.
Akhirnya, semoga Makalah ini bermanfaat dan semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Amien.

                        Tanggal 22 Mei 2011

                         Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
I.    Latar belakang masalah
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli tetapi banyak ahli mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada terbukti exis sampai sekarang. Dalam dunia filsafat Islam terdapat dua aliran besar yaitu aliran peripatetis dan iluminasi. Mengerti dan mengetahui kedua aliran ini adalah hal yang sangat penting ketika kita ingin mengkaji filsafat Islam, karena semua filsuf khususnya muslim pada akhirnya merujuk dan berkaitan kepada dua aliran ini.
Aliran peripatetik merupakan aliran yang pada umumnya diikuti oleh kebanyakan filsuf, sedangkan aliran iluminasi merupakan tandingan bagi aliran peripatetik. Aliran iluminasi ini dipelopori oleh seorang tokoh filsuf muslim yaitu Suhrawardi al Maqtul yang dikenal juga dengan sebutan bapak iluminasi. Suhrawardi dikenal dalam kajian Filsafat Islam karena kontribusinya yang sangat besar dalam mencetuskan aliran iluminasi sebagai tandingan aliran peripatetik dalam filsafat, walaupun dia masih dipengaruhi oleh para filsuf barat sebelumnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sebagian atau bahkan keseluruhan bangunan Filsafat Islam ini dikatakan kelanjutan dari filsafat barat yaitu Yunani. Hal pemikiran Suhrawardi dalam filsafat yang paling menonjol adalah usahanya untuk menciptakan ikatan antara tasawuf dan filsafat. Dia juga terkait erat dengan pemikiran filsuf sebelumnya seperti Abu Yazid al Busthami dan al Hallaj, yang jika diruntut ke atas mewarisi ajaran Hermes, Phitagoras, Plato, Aristoteles, Neo Platonisme, Zoroaster dan filsuf-filsuf Mesir kuno. Kenyataan ini secara tidak langsung mengindikasikan ketokohan dan pemikirannya dalam filsafat.

II.   Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai beikut :
  1. Bagaimanakah pengertian Iluminasi ?
  2. Apakah karakteristik / ciri khas Iluminasionisme ?
  3. Siapa saja tokoh aliran Iluminasionisme  ?

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

I.    Pengertian Iluminasi
Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa Inggris mempunyai arti cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminasionisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini, melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan kepada cahaya yang bersifat azali yang didalamnya adalah pengetahuan dan kebahagiaan. Menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah. Simbolisme cahaya digunakan oleh suhrawardi untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya dalam peripatetic, disebut cahaya dari segala cahaya (nur al-anwar), intelek-intelek terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar mujarradah). Tampaknya simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan sesuai untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal, karena lebih mudah dipahami bahwa cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas kedekatan dan kejauhan dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme digunakan. Sebagai contoh semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu cahaya dari segala cahaya, maka semakin terang cahaya entitas tersebut. Sedangkan ketidak adaan cahaya atau kegelapan mengidentikkan ketidak wujudan (non wujud). Hikmah yang didasarkan pada dualisme cahaya dan kegelapan yang ketimuran ini menurut suhrawardi merupakan warisan para guru mistis persia. Hikmah ini sebenarnya terwakili di barat seperti plato. Al-Bhusthomi dan al-Hallajj melanjutkan tradisi ini dan puncaknya ada pada diri suhrawardi sendiri. Inti hikmah iluminasi bagi suhrawardi adalah ilmu cahaya yang membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya ini menurutnya tidak dapat di definisikan karena ia merupakan realitas yang paling nyata sekaligus menampakkan sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi yang lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek dibawahnya cahaya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang dan sebagaimana disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang tidak bisa tidak beremanasi darinya.

II.   Karakteristik/ciri khas Iluminasionisme
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Iluminasi tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologism dan kosmologis.

  1. Metodologis
Berbeda dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat iluminasionis mencoba memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (‘Irfani), sebagai pendamping bagi, atau malah dasar bagi penalaran rasional. Di sini Suhrawardi mencoba mensintesiskan dua pendekatan ini, burhani dan ‘Irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.
Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran ke dalam kedalam tiga kelompok : (1) Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam-seperti para sufi-tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif;(2) mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang cukup mendalam. Pengalaman mistik sangat penting untuk mengenal secara langsung realitas sejati, sehingga tidak hanya bersandar pada otoritas masa lalu saja, seperti yang dapat ditemukan pada para filosof peripatetic, dan (3) atau terakhir, adalah mereka yang disamping memlki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memilk kemampuan nalar dan bahasa diskursif, seperti yang terjad pada diri Plato, di masa lampau, dan dirinya (baca: Suhrawardi) pada masanya.
Pengalaman mistik adalah pengalaman langsung melihat realitas sejati, karena dalam pengalaman mistik seperti itu, “obyek” penelitian telah “hadir” pada diri seseorang, sehingga modus pengenalan seperti ini sering disebut “ilmu hudhur” (knowledge by presence) yang kemudian dibedakan dengan “ilmu hushuli” (acquired knowledge) di mana objek penelitian diperoleh tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah representasi, baik itu berupa symbol atau konsep.
Arti penting pengalaman mistik bagi pencarian kebenaran adalah bahwa melalui pengalaman tersebut seseorang (filosof atau sufi) dapat secara langsung menyaksikan kebenaran sejati (al-Haqq), yang tidak bisa diperoleh dengan cara yang sama melalui pendekatan apapun, indera atau akal. Kalau tidak, maka filsafat mereka akan dipenuhi oleh ungkapan-ungkapan syathahat yang tidak bisa diakses. Bahkan menurut DR. Haidar Baqir, kemampuan untuk mengungkap pengalaman mistik secara diskursif ini merupakan kriteria dari benar atau tidaknya pengalaman mistik tersebut. Dengan kata lain, pengalaman mistik harus diuji kebenarannya justru lewat  bahasa diskursif. Ketika ditanya oleh muridnya apakah buku Hikmah al-Isyraq ini adalah karya mistik atau filsafat, Suhrawardi menjawab bahwa Hikmah al-Isyraq adalah kitab filsafat yang didasarkan pada pengalaman mistik. Ini merupakan sebuah sintesis yang brillian dari seorang Suhrawardi.

  1. Ontologis
Sebagian filosof mengibaratkan Tuhan sebagai matahari dan alam adalah sinarnya. Suhrawardi, adalah seorang filosof Muslim yang paling maksimal memanfaatkan simbolisme cahaya untuk menjelaskan filsafatnya. Baginya Tuhan adalah Cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas Cahaya (Nur al-anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar.
Menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki wujud yang positif, sedangkan kegelapan adalah negative, dalam arti tidak memiliki realitas objektif. Ia ada hanya sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya. Ketika cahaya datang, maka kegelapan sirna. Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang tegas (clear cut) seperti yang dibayangkan kaum Peripatetik. Yang membedakan satu benda dengan benda lainnya hanyalah intensitas cahaya yang dimilikinya. Semakin banyak kandungan cahayanya makin semakin tinggi derajatnya. Hewan dan manusia, misalnya, tidak dibedakan secara kategoris melalui esensinya tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia memiliki cahaya yang lebih dibanding dengan hewan.
Dengan demikian, aliran filsafat iluminasionis merupakan kritik yang cukup fundamental-sekalipun tidak terlalu jelas-atas prinsip hylomorfis, karena sementara hylomorfisme bentuk-bentuk benda bersifat kategorik, bagi kaum iluminasionis itu bersifat relatif. Bagi yang terakhir sesuatu itu bisa dilihat secara relatif  “lebih atau kurang” (more or less) dan tidak dibagi secara kategorik ke dalam substansi-substansi yang tetap (fixed).
Selain kritik terhadap filsafat atau prinsip hylomorfisnya peripatetic, filsafat iluminasionis juga memberikan kritik yang tajam atas prinsipialitas wujud, seperti yang diyakini Ibn Sina, misalnya. Sementara bagi Ibn Sina dan dikemudian hari, bagi Mulla Sadra, wujud adalah yang real, yang fundamental, bagi Suhrawardi esensi (mahiyah)-lah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistic dengan realitas. Sebagai pengikut Plato yang percaya pada realitas ide-ide, maka Suhrawrdi percaya bahwa esensilah yang sejati, sedangkan wujud hanyalah abstraksi subjektif manusia saja.
Dengan demikian, filsafat Suhrawardi dikenal sebagai esensalisme, yang dipertentangkan dengan eksistensialisme ala Shadra. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Suhrawardi esensilah yang lebih prinsipil, bukan eksistensi (wujud), sebuah ajaran yang sering disebut ishalat al-mahiyah atau prinsipialitas esensi, sebagai lawan dari ishalat  al-wujud, yang menyatakan bahwa wujudlah yang prinsipil, yang lebih fundamental, sedangkan esensi hanyalah persepsi  mental saja.
Untuk menguatkan argumennya tentang ketidaknyataan eksistensi, Suhrawardi bertanya kepada kaum eksistensialis, apa yang anda maksud dengan wujud, ia mengatakan bahwa apa yang dipahaminya tentang wujud tersebut pada hakikatnya bukanlah wujud, tetapi esensi, yaitu esensi wujud bukan wujud itu sendiri. Dengan itu Suhawardi ingin mengatakan bahwa pada akhirnya yang nyata adalah esensi bukan wujud, sekalipun kita sedang berbicara tentang wujud (eksistensi).

  1. Kosmologis
Seperti halnya kaum Peripatetik, Suhrawardi juga percaya bahwa alam semesta memancar dari Tuhan. Hanya saja dalam teori emanasi Suhrawardi, kita menjumpai bukan hanya istilah-istilah yang berbeda, tetapi juga struktur kosmik yang berbeda dalam jumlah maupun tatanannya. Tidak seperti Ibn Sina, yang menyebut Tuhan Wajib al-wujub (Wujud Niscaya/Senantiasa Aktual), Suhrawardi menyebut-Nya Nur al-Anwar (Cahaya dari segala cahaya), kalau dilihat dari sifat sejatinya sebagai cahaya dan sumber bagi cahaya yang lainnya, dan sl-Ghani (Yang Independen) dilihat dari kemandirian-Nya yang absolute dari alam. Sedangkan alam sendiri pada gilirannya disebut al-fakir(berbanding dengan mumkin al-wujud-nya Ibn Sina), untuk menunjukkan ketergantungan alam pada Tuhan.
Selain perbedaan istilah, teori emanasi Iluminasioni juga berbeda dalam strukturnya. Kalau dalam skema kosmik Aristoteles/Peripatetik, alam semesta dibagi ke dalam dua bagian : langit dan dunia bawah bulan (bumi), maka dalam skemma kosmik iluminasionis, di atas langit tadi ditambah lagi satu wilayah dunia spiritual murni, yang ia sebut Timur (Orient/Masyriq). Sedangkan langit dan bumi disebut Barat (Occident/Maghrib), di mana langit disebut Barat Tengah (Middle Occident) dan Bumi dengan Barat (Occident) saja. Dengan demikian kosmos Suhrawardi lebih luas dan tinggi.
Di dunia Timur, hanya ada entitas-entitas murni (kadang disebut cahaya atau malaikat), yang tidak tercampur dengan kegelapan; sedangkan dunia barat Tengah adalah tempat bercampurnya cahaya dan kegelapan (seperti disimbolkan/dimanifestasikan dalam bintang-bintang dan matahari) yang mengisi langit-langit kita. Adapun dunia Barat, baginya adalah dunia kegelapan, berupa benda-benda material, yang menjadi gelap karena jauhnya dari cahaya Ilahi.
Selain karakteristik di atas, struktur emanasi Suhrawardi juga dibedakan dengan teori emanasi Peripatetik, karena Suhrawardi membagi cahaya yang memancar dari Tuhan tersebut ke dalam dua jenis, cahaya yang bersifat vertical (thuli), yang memancar dari Tuhan secara vertical melalui serangkaian cahaya yang merentang  dari cahaya pertama (al-nur al-aqrab) hingga dunia Barat Tengah.
Dalam teori emanasi Iluminasionis ini dikenal gradasi cahaya dilihat dari intensitasnya yang disebabkan oleh hadirnya barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara dua cahaya: cahaya yang ada di atasnya, dan cahaya yang ada di bawahnya. Demikian seterusnya, adapun hubungan cahaya yang di atas dan cahaya yang di bawahnya, diatur dengan prinsip cinta (mahabbah) tetapi yang lebih khas lagi dari teori emanasi (hierarki wujud) Suhrawardi adalah munculnya cahaya yang bersifat horizontal (‘ardhi), yang tidak muncul secara langsung dari Tuhan, tetapi dari cahaya-cahaya vertical.
Cahaya-cahaya dalam tatanan horizontal ini disebut Arbab al-Ashnam, yakni semacam prototupe bagi makhluk apa pun yang ada di alam fisik. Oleh karena itu, ia  mirip sekali dengan ide-ide Platonik, yang merupakan prototype bagi apa pun yang ada di dunia, yang bertindak sebagai bayang-bayang bagi apa pun yang ada di alam ide.
Satu lagi tatanan cahaya yang bersifat horizontal, yaitu yang disebut dengan al-anwar al-Mudabbirah (Cahaya-dahaya yang Dominan). Cahaya-cahaya Dominan ini dalam kaitannya dengan benda-benda di bawahnya adalah sebagai daya-daya yang memiliki pengaruh besar terhadap segala makhluk yang ada di bawah pengaruhnya. Ada malaikat-malaikat/daya-daya yang menjaga tumbuh-tumbuhan, mineral, hewan dan lain-lain, juga ada daya-daya (malaikat/cahaya) yang mengatur manusia, dan daya-daya yang menggerakkan benda-benda langit.
Terakhir selain berbeda dalam istilah dan struktur kosmik, emanasi Suhrawardi juga berbeda dari emanasi Peripatetik dari sudut jumlah, yakni jumlah akal-akal atau malaika-malaikat yang muncul dalam teori emanasinya. Kalau teori emanasi Peripatetik Muslim, hanya memiliki 10 akal, maka bagan teori emanasi Suhraward memiliki jumlah akal yag tidak terbatas. Alasannya adalah karena benda-benda angkasa termasuk planet-planet tidak terbatas pada sepuluh, tetapi ratusan bahkan ribuan. Nah karena, setiap benda angkasa tersebut membutuhkan sebuah murajjih (Sufficient reasons) untuk keberadaannya, maka akal-akal itu tidak bisa hanya dibatasi pada angka 10 tetapi berbanding dengan jumlah benda-benda angkasa tersebut, yang karena banyaknya tak mungkin hanya dibatasi pada angka 10. Inilah kaakteristik teori emanasi iluminasionis, yang sekaligus merupakan kritik dan perbaikan atas teori emanasi sebelumnya.









BAB III
TOKOH-TOKOH ALIRAN ILUMINASIONIS
A.     Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191)
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya, Syaikh Syihab al-Din Abu al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, dilahirkan di Suhraward, Iran Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. Ia dikenal dengan Syaikh al-Isyraq atau master of Illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan al-Maqtul (yang terbunuh). Julukan al-Maqtul berkaitan dengan cara matinya yang dieksekusi, juga sebagai pembeda dari dua tokoh lainnya yang mempunyai nama Suhrawardi, yaitu (1) Abd al-Qahir Abu Najib al-Suhrawardi (w. 563 H/1168 M), pengarang buku mistik Adab al-muridin (perilaku santri), dan (2) Abu Hafs Umar Syihab al-Din al-Suhrawardi al-Baghdadi (1145-1234 M.)
Setelah sekian lama Suhrawardi terkenal dan mempunyai doktrin-doktrin yang esoteris (bersifat khusus, rahasia) serta kritik yang tajam yang dilontarkan kepada para fuqaha’ kala itu menimbulkan reaksi keras yang dimotori oleh Abu al-Barakat al-Baghdadi yang anti terhadap aliran Aristotelian. Akhirnya pada tahun 587 H/1191 M atas desakan para fuqaha’ kepada Malik al-Zhahir yang di kala itu membutuhkan dukungan dari fuqaha’ untuk menghadapi tentara salib yang mengancam umat Islam, sehingga Suhrawardi diseret ke penjara dan di hukum mati pada usia 38 tahun yang masih cukup relatif muda. A. Mustofa mengatakan bahwa perihal terbunuhnya al-Suhrawardi ini merupakan ulah dari orang-orang yang dengki kepadanya sehingga melaporkannya kepada Shalahuddin al-Ayyubi akan bahaya tersesatnya akidah Malik al-Zhahir jika terus berteman dengan al-Suhrawardi. Maka Shalahuddin pun meminta putranya untuk membunuh al-Suhrawardi. Kemuadian Malik al-Zhahir pun meminta pendapat para fuqaha’ Halb, yang memang menjatuhkan hukuman mati kepada al-Suhrawardi. Setelah itu Malik al-Zhahir pun memutuskan agar al-Suhrawardi dihukum gantung.

  1. Pendidikan
Suhrawardi belajar dan menjadi murid dari seorang imam besar yaitu Majduddin al-Jili, al-Jili merupakan guru Fakhruddin al-Razi yang berteman langsung dengan Suhrawardi di Isfahan. Dia belajar dari al-Jili ilmu hikmah dan ushul fiqh. Di Isfahan dia juga belajar logika langsung kepada Ibnu Sahlan al-Sawi yang terkenal juga dengan komentator Risalah al-Thair karangan Ibn Sina, al-Sawi adalah penyusun kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah. Tetapi dalam bukunya Filsafat Islam, Hasyimsyah mengatakan bahwa Suhrawardi tidak belajar langsung kepada al-Sawi akan tetapi dia mengkaji kitab al-Basha’ir al-Nashiriyyah setelah menunutut ilmu dari Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi. Al-Suhrawardi juga belajar dan memperdalam pengetahuan filsafat di negeri Isfahan kepada seorang ahli yaitu Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594 H/1198 M). Setelah itu ia mengembara melewati dan sampai di Persia, Anatolia, Damaskus, dan Syiria. Dalam pengembaraannya Suhrawardi banyak bergaul dengan para sufi dan sempat menjalani kehidupan zahid, sambil mendalami kajian tasawuf. Setelah itu Suhrawardi menetap di Aleppo atas undangan pangeran Malik al-Zhahir, seorang putra Shalahuddin al-Ayyubi yang dikatakan tertarik dengan ide dan fikiran-fikiran Suhrawardi yang mengkonstruksi bangunan filosofis besar kedua dalam Islam, yaitu aliran illuminasionis yang menjadi tandingan dari aliran peripatetis yang lebih dahulu lahir.
Kesuksesan Suhrawardi dalam membangun aliran illuninasionis ini berkat penguasaannya yang mendalam terhadap ilmu tasawuf dan filsafat, di kala itu Suhrawardi dikenal mempunyai kecerdasan yang tinggi, hal ini terbukti tatkala tidak ada satu orang pun yang menandinginya di antara teman-temannya dalam hal pemikiran dalam dunia Islam. Bahkan A. Mustofa mengisahkan dalam karyanya Filsafat Islam, bahwa pengetahuan Suhrawardi dalam bidang filsafat begitu mandalam. Kitab Thabaqat al-Athibba juga menyebutkan Suhrawardi sebagai seorang tokoh di masanya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai kajian filsafat, memahami kajian usul fiqh, memiliki kecerdasan yang tinggi, dan ungkapan-ungkapannya begitu fasih.

  1. Karyanya
Menurut Hasyimsyah, Suhrawardi menulis tidak kurang dari 50 karya dalam bahasa Arab dan Persia. Sebagaimana yang dikutip oleh Hasyimsyah dari pengelompokkan karya-karya Suhrawardi oleh Seyyed Hossein Nasr ke dalam lima bagian, yaitu: (1). Tentang pengajaran dan kaidah teosofi yang merupakan tafsiran dan modifikasi dari filsafat peripatetis, di antaranya: Talwihat, Muqawamat, Mutharahat, dan Hikmat al-Isyraq. (2). Karangan sederhana tentang filsafat, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia, di antaranya: Hayakil al-Nur, al-Alwah al-‘Imadiyah, Partaw-namah, Fi l’itiqad al- Hukama’, al-Lamahat, Yazdan Syinakht, dan Bustan al-Qulub. (3). Karya pendek yang berbau mistis, yang umumnya ditulis dalam bahasa Persia, di antaranya: ‘Aql-i Surkh, Awaz-i Par-i Jibra’il, al-Ghurbat al-Gharbiyah, Lughat-i Muran, Risalah fi Halat al-Thifuliyah, Ruzi bajama’at-i Shyufiyan, Risalah fi al-Mi’raj, dan Syafir-i Simurgh. (4). Karya yang berupa komentar dan terjemah dari ajaran-ajaran keagamaan dan filsafat terdahulu, di antaranaya: Risalah al-Thair karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya Ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah fi Haqiqat al-‘Isyqi, yang berpusat pada risalah Ibn Sina Fi al-Isyqi; serta beberapa tafsir al Quran dan Hadits Nabi. (5). Karya yang berupa kumpulan doa-doa yang lebih terkenal dengan sebutan al-Waridat wa al-Taqdisat.
Di antara karya-karya di atas, karya al-Suhrawardi yang paling monumental adalah Hikmat al-Isyroq, yang berisi pendapat dan pemikiran dia tentang tasawuf isyraqi (iluminatif), dan ini merupakan karyanya yang paling penting dalam menguraikan alirannya.

2.   Syams al-Din Muhammad ibn Mahmud Syahrazuri (w + 1288)
Tentang tokoh ini, kami belum berhasil menemukan  biografinya dalam beberapa literature tentang Filsafat Islam yang berhasil kami dapati, kecuali sekelumit keterangan bahwa tokoh ini adalah murid dari Suhrawardi.














BAB III
PENUTUP

Satu kesimpulan dari sedikit uraian tentang Suhrawardi di atas, kita semakin mengetahui bahwa dia adalah seorang tokoh filsuf muslim besar yang membangun aliran iluminasi sebagai tandingan dari aliran peripatetik yang terlebih dahulu mendahuluinya. Hal ini dilakukan Suhrawardi dalam rangka memadukan antara ajaran tawasuf dengan filsafat. Pandangan dia bahwa pengetahuan itu bukan hanya diperoleh dari hasil akal semata, akan tetapi dari rasa (dzauq) yang awalnya ditempuh dengan jalan mujahadah dan musyahadah.
































DAFTAR PUSTAKA

1.      Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam  Sejarah dan Kebudayaan Islam
2.      Dr. Hasimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam