Kumpulan Makalah

Sabtu, 20 Agustus 2011

Aliran Hikmah Muta'aliyah


BAB I
PENDAHULUAN

I.    Latar belakang masalah
Sampai abad XI filsafat yang berkembang di dunia Islam bercorak Peripatetis (masysya’i) Neo-Platonisme yang mencapai puncak kejayaannya di tangan Ibn Sina dan para pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan Madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, teutama setelah Al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam timur yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibn Rusyd. Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah pengaruh Syi’ah, tradisi intelektual masih tetap hidup, khususnya di Persia.
Pembentukan tradisi pemikiran Islam bercorak Syi’ah dan kemunculan tokoh-tokoh  yang  berusaha membuat sintesa atau harmonisasi antara berbagai aliran pemikiran Islam, merupakan dua fenomena penting sebelum kemunculan Mulla Shadra. Ketika Mulla Shadra muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi Khazanah intelektual itu dan mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran. Akhirnya, dengan penghayatannya yang mendalam tentang tradisi pemikiran Islam sebagai perspektif intelektual yang terus hidup dan berkembang dan kesungguhannya dalam memahami keterkaitan doktrin antar aliran pemikiran Islam, Mulla Shadra berusaha membentuk suatu sintesis dalam dimensi yang baru, yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra  bukanlah sekedar menggabungkan  teori atau gagasan  pemiikiran Islam, melainkan meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya.

II.  Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang seperti diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah pengertian Hikmah muta’aliyah  ?
  2. Apakah karakteristik / ciri khas Hikmah Muta’aliyah ?
  3. Siapa saja tokoh aliran Hikmah Muta’aliyah?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

I.    Pengertian Hikmah Muta’aliyah
Aliran Filsafat hikmah muta’aliyah (filsafat/teosofi transenden), diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1641), yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang telah berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yang telah didiskusikan pada pada fasal-fasal sebelum ini yaitu Peripatetik, Iluminasi dan ‘Irfani. Sesungguhnya bisa juga Mulla Shadra di masukkan ke kelompok madzhab Isfahani, yang dipimpin oleh Mir Damad (w.1631), dengan anggota-anggotanya antara lain Husain bin Abd al-Shamad al-‘Amili dan Mir Fendiriski.  Tetapi karena system filsafat Mulla Shadra jauh melampaui para filosof madzhab Isfahan termasuk gurunya Mir Damad, maka sejarawan filsafat Islam, lebih suka mengatagorikan Mulla Shadra dalam aliran tersendiri yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, Atau aliran Hikmah saja.
Al-Hikmah al-Muta’aliyah bukan saja menampilkan sintesa pemikiran, tetapi juga memahkotai pemikiran itu dengan bukti-bukti nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Karena itu, memahami pemikiran Mulla Shadra, terutama karya monumentalnya tersebut, terlebih dahulu harus dipahami beberapa sumber pemikiran yang mengitarinya sebagaimana diutarakan di atas, meliputi :
1.      Filsafat Islam Peripatetis-Neo Platonisme yang dikembangkan oleh Ibn Sina dan para pendukungnya.
2.      Teosofi Isyraqi (Iluminasi) Suhrawardi dan para pengikutnya, seperti Qutb al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani
3.      Doktrin gnostis (irfan) Ibn Arabi dan mereka yang bertanggung jawab dalam penyebaran doktrin Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din Qunyawi serta karya-karya tokoh sufi terkemuka, antara lain Ayn Qudat Hamadani dan Mahmud Syabistari.
4.      Ilmu Kalam Syi’ah Imamiyah
5.      Wahyu, termasuk di dalamnya sabda Nabi SAW. Dan para Imam Syi’ah.

II.  Karakteristik/ciri khas Hikmah Muta’aliyah
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, Filsafat Hikmah Muta’aliyah tentu memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran yang lain, ditinjau dari sudut Epistemologis, ontologis dan kosmologis.

  1. Epistemologis
Seperti aliran Iluminasionis, filsafat hikmah juga percaya bukan hanya pada akal diskursif , tetapi juga pada pengalaman mistik. Filsafat Isyraqi  seperti telah disinggung didasarkan pada pengalaman mistik, baru kemudian disampaikan dalam bahasa filosofis-diskursif. Namun lebih dari itu, filsafat hikmah, seperti dikatakan Dr. Haidar Baqir, dalam bukunya Buku Saku Filsafat Islam, menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public.” (h. 89).
Selain itu Mulla Shadra juga, seperti para sufi, membicarakan tentang kesatuan antara akal dan ma’qul. Dalam bukunya yang terkenal The Philosophy of Mulla Shadra, Fazlur Rahman menjelaskan argument Shadra -dalam soal kesatuan (identitas) antara akal dan ma’qul- sebagai berikut, “ sesuatu yang betul-betul bisa dipikirkan (actually intelligible) haruslah ipso facto yang berpikir sendiri (self-intelligent), karena “yang dipikirkan” tidak mungkin secara rasional ada, tanpa “yang berpikir”. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul) kalau tidak ada yang berpikir (‘aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada gilirannya sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mudahnya, karena yang dipikir tidak lain daripada yang berpikir sendiri, maka terjadilah kesatuan antara yang berpikir dengan sasaran pikirannya itu, yang tidak lain dari pada dirinya sendiri.

  1. Ontologis
Atas pengaruh Ibn ‘Arabi, Mulla Shadra juga menciptakan ajaran wahdat al-wujud, tetapi dengan perbedaan yang cukup sidnifikan Namun sebelum kita membahas tentang konsep kesatuan wujudnya, marilah kita bicarakan terlebih dahulu tentang keutamaan wujud, atau apa yang disebut ishalat al-wujud. Berbeda dengan Suhrawardi yang mengatakan bahwa yang utama (prinsipil) adalah esensi (mahiyyah), Mulla Shadra mengatakan bahwa yang real, yang utama adalah wujud (eksistensi). Wujudlah yang real, sedangkan esensi (mahiyyah) hanya ada dalam pikiran manusia saja, tidak betul-betul ada di luar pikiran, yakni pada benda-benda eksternal.
Atas kritikan Suhrawardi bahwa apa yang kita pahami sebagai eksistensi, adalah esensi, Mulla Shadra mengatakan, “betul bahwa apa yang kita pahami (mafhum/konsep) tentang wujud itu memang adalah esensi. Tetapi yang kami maksud di sini adalah wujud sejati, dan bukan hanya konsep atau pemahaman kita tentang wujud. Karena kalau itu yang dimaksud, maka ia adalah esensi, yang hanya ada dalam pikiran saja (adzhan) bukan realitas sejati (a’yan). Wujud sejati, dengan begitu, bukan esensi ataupun pemahaman tentang wujud, tetapi wujud itu sendiri.
Adapun wujud seperti itu tidak perlu dibuktikan, karena ia akan terbukti dengan sendirinya (self-evident/badihi), karena sebelum kita mengatakan bahwa sesuatu itu (apa saja) ada, maka tentu kita harus mengetahui dan meyakini secara intuitif bahwa ada itu sendiri-ada sebagai ada, yang tidak merujuk pada apa pun kecuali dirinya saja-adalah ada. Karena kita tidak mungkin mengatakan sesuatu itu ada kalau “ada” itu sendiri kita tolak, seperti tidak mungkin kita mengatakan bahwa pensil itu biru, kalau biru itu sendiri tidak ada. Dengan demikian jelaslah bahwa wujud sejati (wujud qua wujud) adalah ada tanpa perlu pembuktian lagi, bahkan menjadi syarat bagi keberadaan yang lain-lain.
Marilah kita beralih pada konsep Shadrian tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Wujud bagi Shadra hanyalah satu saja. Apakah merujuk kepada Tuhan atau kepada batu kerikil, wujud hanyalah satu. Adapun yang membedakan wujud yang satu dari wujud yang lain bukanlah kewujudan mereka, tetapi karena perbedaan esensi-esensi mereka.
Konsep keesaan wujud ini mirip sekali dengan, atau barang kali diadopsi dari konsep cahaya Suhrawardi. Cahaya menurut Suhrawardi pada hakikatnya hanyalah satu. Perbedaan cahaya yang ada tidaklah karena perbedaan kecahayaannya. Tetapi karena pebedaan intensitasnya. Seperti Suhrawardi, Mulla Shadra juga percaya bahwa wujud-sebagai ganti cahaya- hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka ini bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda. Jadi wujud Tuhan, dan wujud batu kerikil, tidaklah berbeda dari sudut kewujudannya, tetapi berbeda dalam derajat dan gradasinya. Dan sementara Suhrawardi menjelaskan perbedaan intensitas cahaya karena hadirnya barzakh-barzakh (barazikh) yang menyekat di antara cahaya, maka Mulla Shadra mengatakan gradasi wujud-atau yang terkenal dengan istilah tasykik al-wujud terjadi karena perbedaan esensi (mahiyyah) yang dimiliki oleh tiap-tiap entitas yang ada di alam semesta ini.
Tasykik al-wujud adalah salah satu ajaran Mulla Shadra yang penting di samping wahdat al-wujud. Tasykik al-wujud  diartikan Fazlur Rahman sebagai “ambiguitas sestematik” wujud. Menurutnya, wujud disebut  “ambiguitas sestematik” karena disamping menjadi prinsip keesaan, ia juga bertindak sebagai prinsip kebinnekaan. Oleh karena itu, ketika wujud  disebut satu, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga banyak dan beraneka. Konsep ini mengingatkan kita pada konsep wahidiyah Ibn ‘Arabi, yang selain memiliki prinsip keesaan, seperti halnya ahadiyyah, tetapi juga memiliki prinsip keanekaan, sehingga William Chittick, menyebutnya Keesaan yang inklusif (the Inclusive Unity), yakni keesaan yang juga meliputi realitas-realitas yang beraneka, lewat prinsip keanekaan yang dimilikinya.

  1. Kosmologis
Ajaran Mulla Shadra yang berkaitan dengan alam yang disebut “perubahan trans-substansial” ( al-harakah al-jauhariyah) adalah teori yang menurut para ahli merupakan penemuan Mulla Shadra yang paling orisinal karena belum pernah dikemukakan sebelumnya oleh filosof manapun, baik Yunani (Aristoteles) maupun Muslim (misalnya Ibn Sina). Menurut ajaran ini, perubahan bias terjadi bukan hanya pada tingkat aksidental, tetapi juga substansial. Padahal selama ini substansi dipahami sebagai sesuatu yang “fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah. Misalnya substansi hewan telah “fixed” sehingga tidak mungkin akan berubah menjadi yang lain. Tetapi menurut Mulla Shadra, seperti juga Suhrawardi, substansi tidaklah begitu fixed dan ia dapat berubah secara signifikan. Berbeda dengan para pendahulu filosofisnya, Mulla Shadra bahkan mengatakan bahwa perubahan pada level aksidental bias terjadi hanya apabila ada perubahan pada substansi.

BAB III
TOKOH ALIRAN HIKMAH MUTA’ALIYAH
A.    Mulla Shadra
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawami Syirazi. Sering disebut Shadr al-Din al-Syirazi atau Akhund Mulla Shadra. Dikalangan murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Muti’allihin. Ia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979/980 H atau 1571/1572 M dari sebuah keluarga terkenal lagi berpengaruh. Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status social keluarganya tersebut dan sebagai anak tunggal, ia berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahirannya

  1. Pendidikan
Dalam usia muda, Mulla Shadra melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia timur Islam pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha’ al-Din al-‘amili (w.1031 H/1622 M), kemudian kepada filsuf peripatetic Mir Abu al-Qasim Fendereski (w. 1050 H/1641), tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih dikenal dengan Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teologi yang kini dikenal sebagai “Aliran Isfahan”. Diceritakan, ketika Mir Damad membaca karya Mulla Shadra ia menangis saking gembira dan duka. Gembira karena mempunyai seorang murid sepintar Shadra, dan berduka karena beliau menyadari bahwa tulisan-tulisan Shadra akan menenggelamkan popularitasnya. Konon tulisan Shadra lebih mudah dipahami darpada tulisan Mir Damad.

  1. Karyanya
Menurut Tabataba’I sebagaimana dikutip Nasr, Karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapi Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karyanya tersebut telah dipublikasikan semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.
Diantara karya-karya Mulla Shadra adalah :
1.      Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah (Kebijaksanaan Transendental  tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa) dikenal dengan judul Asfar (perjalanan). Kitab ini merupakan karya monumental, karena menjadi dasar bagi karya pendeknya dan juga sebagai risalah pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Di dalamnya memuat symbol-smbol pengemaraan intelektual dan spiritual manusia kehadirat Tuhan.
2.      Al-Hasyr (Tentang Kebangkitan). Buku ini terdiri dari delapan bab yang membicarakan tentang hari kebangkitan, dan betapa semua benda termasuk barang tambang akan kembali kepada Allah.
3.      Al-Hikmah al-‘Arsyiyyah (Hikmah di turunkan dari ‘Arsy Ilahi). Buku ini memperbincangkan kebangkitan dan prihal nasib masa depan manusia sesudah mati. Buku ini menjadi sumber pertikaian hebat di kalangan aliran ilmu kalam di kemudian hari.
4.      Dll.



BAB IV
PENUTUP

Dari uraian singkat di atas kita ketahui bahwa Filsafat Hikmah bukan hanya percaya pada akal diskursif, tetapi juga percaya pada pengalaman mistik. Pengalaman mistik bukan hanya mungkin untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan harus diungkapkan seperti itu untuk keperluan. Menurut Mulla Shadra “wujud” hanyalah satu saja, sedangkan yang membedakan wujud-wujud yang beraneka bukanlah kewujudannya, tetapi “gradasi” mereka yang berbeda-beda.
Dengan Konsep “Trans-substansial movement” tidak sulit untuk mengatakan bahwa Mulla Shadra adalah seorang filosof proses, seperti halnya Whitehead di Barat. Demikian juga tidak sulit untuk melihat adanya ide/teori evolusi pada ajaran filosofis Mulla Shadra. Bahkan lebih dari teori evolusi Darwin, Mulla Shadra-seperti halnya Rumi- menjelaskan terjadinya evolusi pada tataran yang luas. Karena, bukan saja evolusi terjadi pada tataran biologis seperti pada teori Darwin, tetapi juga pada tataran kosmik, geologis, biologis dan bahkan imajinal dan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam,Lentera Hati, Jakarta, 2006
2.      Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1982

























2 komentar:

  1. related to the name, "Mulla Sadra" is true not "Mulla shadra" thanks.

    BalasHapus
  2. tulisan yang memotivasi dan layak untuk dibaca sebagai perbandingan dan perluasan wawasan.. salam kenal dari anak minang

    BalasHapus